Wednesday, 15 November 2017

Nilai-Nilai Pendidikan Akhlakul Karimah

Pendidikan ideal adalah pendidikan yang mampu melahirkan manusia berilmu, beriman dan beramal. demikian pula telah dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah dijelaskan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (uu sisdiknas), pasal (1), bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan Indonesia dalam perwujudannya belum terimplementasi dengan baik, terlebih yang berkaitan dengan aspek akhlak sebagai ruh pendidikan. Banyak fakta dapat dirujuk untuk membuktikannya, diantaranya tawuran pelajar, pergaulan bebas, narkoba, contek massal, korupsi, traffi cking, begal, pelecehan seksual, pembakaran hutan dan berbagai penyimpangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan besar negeri ini adalah masalah kemerosotan akhlakul karimah. Alhasil, pendidikan di Indonesia akhirnya hanya mampu melahirkan para lulusan yang kaya intelektual, tapi miskin dengan akhlakul karimah.
Berkaitan dengan permasalahan di atas Allah SWT berfi rman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)
Ada beberapa prinsip akhlakul karimah yang harus ditanamkan pada peserta didik yaitu:Pertama, menumbuhkan dalam diri setiap peserta didik mencintai kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan suatu hal yang fitri. Sudah tabiat manusia untuk senang berkumpul dan bersatu. Demikian pula halnya peserta didik senang berkumpul dengan teman, baik teman yang memiliki akhlak mulia maupun teman yang memiliki akhlak tercela. Disini jelas diperlukan peranan pendidikan, baik itu pendidikan secara formal di sekolah pendidikan informal dalam keluarga dan pendidikan non formal dalam masyarakat.
Pada saat peserta didik tidak berada di sekolah, di rumah sudah tentu peranan orang tua bertanggungjawab terhadap putra putrinya. Tanggungjawab ini menyeluruh dimulai dari kehidupan dunia yaitu memberikan sandang, papan, pangan yang cukup sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan orang tua. Disamping itu pula,dalam kebutuhan rohaninya harus diberikan ilmu pengetahuan, kasih sayang, pembinaan akhlakul karimah dengan baik. Begitu pula dengan kehidupan akhirat, membiasakan anak taat beribadah baik ibadah shalat, di rumah maupun di masjid dikerjakan sendiri dan terlebih baik lagi apabila dapat dikerjakan berjamaah seluruh keluarga. Membiasakan anak perduli terhadap penderitaan orang lain, diimplementasikan dengan memberi sedekah kepada yang membutuhkan, membantu orang dalam kesusahan, baik karena musibah atau sebab-sebab lainnya.
Membiasakan anak mengerjakan ibadah puasa walaupun ia belum dewasa, apabila tidak sanggup sehari penuh dikerjakan bisa sesanggupnya. Tujuannya agar anak dapat merasakan bagaimana lapar, pada gilirannya anak bisa merasakan laparnya orang lain ketika ia tidak memiliki sedikitpun makanan.
Didikan puasa ini mempunyai faedah yang besar bagi pendidikan rohani peserta didik atau siapa saja yang melaksanakannya. Kedua, agar anak mengenal sifat-sifat akhlakul karimah untuk dapat diamalkan dalam segenap aspek kehidupannya, begitu juga mengetahuti sifat-sifat tercela untuk dijauhi dalam pergaulan hidup. Dalam hal ini, peranan kurikulum pendidikan agama ditata sedemikian rupa dalam mengacu kepada tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Disamping itu, semua disiplin ilmu lainnya di sekolah diharapkan berbasis tauhid dan akhlak, karena pengenalan kepada Allah dan Rasul-Nya diperoleh antara lain dari pembelajaran tauhid dan akhlakul karimah ke dalam semua bidang studi. Tetapi yang paling penting dalam hal ini adalah contoh, baik yang dipraktekkan oleh orang tua dirumah, guru di sekolah dan sikap anggota masyarakat.
Ketiga, membentuk anak didik memiliki akhlakul karimah seperti dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW yaitu memiliki akhlak yang mulia, karena sumbernya dari Al-Quran yang datang dari Allah SWT dan kebaikannya bersifat mutlak. Karena kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam adalah kebaikan yang murni, bukan polesan yang disusun sedemikian rupa untuk menguntungkan atau memenuhi konsep dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah tiga prinsip akhlakul karimah yang harus ditanamkan kepada peserta didik, karena peserta didik merupakan generasi penerus bangsa. Maka perlu perhatian semua pihak baik pemerintah, orang tua, guru dan masyarakat untuk membudayakan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kata Prof Dr H Rahmat Djanika: “Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlak yang mulia. Maka apabila (akhlak yang baiknya) telah hilang maka hancurlah bangsa itu.”

Monday, 13 November 2017

NET GENERATION

MADRASAH DAN NET GENERATION
Para ahli telah membagi generasi manusia ke dalam sejumlah kelompok berdasarkan tahun kelahiran. Pertama, mereka yang lahir antara 1901-1924 disebut GI Generation (General Issue Generation). Kedua, mereka yang lahir antara 1925-1946 disebut  Silent Generation (Generasi Diam). Ketiga, yang lahir di antara 1946-1964 disebut Baby Boom Generation. Keempat,  mereka yang lahir antara 1965-1979 disebut Generation X.  Kelima, yang llahir di antara 1980-1999 disebut Millennial Generation. Dan Keenam, yang lahir di tahun 2000-an disebut Generation Z atau Net Generation. Net Generation inilah yang akan menjadi fokus Sekapur Sirih ini.
Anak-anak madrasah—saat ini—adalah anak-anak Net Generation. Mereka lahir di atas tahun 2000-an. Istilah Net Generation ini digunakan oleh Don Tapscott untuk menyebut kelompok anak yang lahir dan dibesarkan di lingkungan media digital. Perubahan yang signifikan yang mempengaruhi generasi ini adalah munculnya teknologi komputer, internet  dan media digital lainnya. Dot Tapscotts mengatakan dalam bukunya Grow Up Digital: The Rise of the Net Generation (1997): “The net generation is exceptionally cerious, self-reliant, contrarian, smart, focused, able to adapt, high in self-esteem, and has global orientation...there has been a change in the way childeren gather, accept and retain information.”
Terjemah bebasnya: “Generasi jaringan ini adalah mereka yang secara khusus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, percaya diri, suka melawan arus/trend, cerdas, fokus, mampu beradaptasi, memiliki harga diri yang tinggi dan memiliki orientasi global. Akan selalu ada perubahan ketika mereka berkumpul, menerima dan menguasai informasi.”
Pembaca boleh percaya dan boleh tidak percaya dengan temuan Don Tapscott. Tapi saya yakin, dalam mendidik anak-anak, kita sudah merasakan munculnya ciri-ciri yang disebutkan oleh Tapscott tadi di dalam diri anak-anak kita. Itu hal yang wajar. Anak-anak kita adalah anak zaman sekarang ini. Zaman akan mempengaruhi mereka dan merekapun cepat atau lambat akan menciptakan zamannya sendiri, yang bisa jadi berubah-ubah. Dan, perubahan pasti terjadi dalam setiap generasi. Menghadapi perubahan tersebut merupakan sebuah kepastian.
(Oleh Dr. H. A. Umar, MA.)

Saturday, 11 November 2017

Kegiatan Literasi

Creats the excellent personality




Menakar Kedigdayaan Budaya Literasi Kita

Buku-buku menjadi warisan yang ditinggalkan sang jenius bagi manusia, dari generasi ke generasi sebagai hadiah untuk yang belum dilahirkan. 

Yoseph Addison, The Spectator, No 166
Beberapa hari lalu, penulis kagum ketika menonton film Angels and Demons. Sama juga takjub ketika menonton film The Da Vinci Code, Roma karya Federico FellinisGandhi, Paris Je t’aime, Shinjuku Incident, dan Le Grand Voyage. Film tersebut tidak hanya menawarkan tehnik sinematografi yang memukau tapi juga menawarkan ide cerita dan pesan yang dimampatkan dalam setiap dialog dan adegan.
Rasanya, sedikit film-film Indonesia yang sebagus itu. Pun ketika berbincang dengan salah seorang aktivis film, MyCinema, Tobing, membenarkannya. Salah satu permasalahannya ada pada dunia literasi (baca: keterbacaan) kita yang lemah. Pemahaman dan apresiasi perfilman mereka ditunjang dengan daya baca yang kuat sehingga film-filmnya berkualitas.
Ketika menelisik tentang dunia literasi, saya menyadari produk kebudayaan sebuah bangsa memang terukur dari budaya literasinya. Ini bukan hal yang main-main karena literasi erat kaitannya dengan pembentukan karakter sebuah bangsa. Produk budaya kita akan berkarakter dan mencerahkan jika didukung oleh tradisi literasi yang mapan.
Tengoklah negara-negara maju semisal Prancis getol mengadakan perlehatan literasi  seperti acara Lire en Fète (pesta membaca) dan Le Primtemp de Poetes (musim semi para penyair) atau sejumlah negara Eropa yang rajin mengampanyekan World Book Day (hari buku sedunia). Kegiatan itu tentunya tidak sekedar seremonial belaka, melainkan proses penularan rasa cinta terhadap membaca. Negara maju pun menaruh perhatian pada dunia literasi. Tidak hanya itu, dari buku mereka membuat inovasi dengan mengangkatnya ke layar putih yang dikenal dengan sebutan ekranisasi. Pun mengubahnya dalam bentuk audio yang dikenal dengan audio book dan sekarang diubah dalam bentuk elektronik atau e-book.
Dari negara itulah muncul pengarang kelas dunia yang menelurkan karya megah semisal Les Miressables-nya Victor Hugo, Candide-nya Voltaire atau Dessert-nya Jean-Marie Gustave Le Clézio, pemenang nobel sastra 2008. Tentu penulis sekelas mereka tidak lahir dari kekosongan literasi, melainkan dari khazanah literatur bermutu. Sehingga dari rahim literasi ini munculah wacana-wacana yang mengguncang dunia.
Kita memang belum semegah itu. Negara kita simpang siur antara tontonan dan tulisan. Masyarakat kita lebih terpukau dengan acara reality show yang mengeksploitasi penderitaan dan kesusahan orang ketimbang pada buku. Lihatlah keluarga Indonesia, yang tak seharipun melewatkan nonton TV dari pada membaca. Mengutip Kurniasih, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB, mengemukakan kondisi ini diperparah gejala umum masyarakat Indonesia yang melewati tahap praliterasi ke posliterasi. Literasi adalah kunci yang amat penting dalam kemajuan keilmuan. Tahapan posliterasi—yang ditandai dengan kemunculan teknologi komunikasi visual seperti internet dan layar kaca—memotong perkembangan literasi yang seharusnya sudah terpupuk terlebih dahulu.
Literasi dan Karakter Bangsa
Namun sesungguhnya, kita kaya akan karya-karya literasi. Tengoklah karya-karya klasik seperti Serat CenthiniSerat GatolocoWawacan Syeh Abdul Qadir Jaelani, Wawacan Panji Wulung,  Martabat Tujuh, Syams al Maarif, Buku Kitab Siksa Kandang KaresianSwaka DharmaKitab-kitab Pengobatan dan sederet karya-karya klasik lainnya. Begitu pula pada generasi selanjutnya, sejumlah karya-karya Hamka, Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Tan Malaka, Soekarno, Bung Hatta, Sutan Takdir Alisyahbana, Achadiat K, Muchtar Lubis, Putu Wijaya dan sejumlah penulis kontemporer berkontribusi atas tegaknya dunia literasi kita.
Dari karya-karya itu, sebenarnya banyak hal yang bisa dipelajari. Seperti pada Kitab Siksa Kandang Karesian dan Swaka Dharma  yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Sunda pada jaman Pajajaran. Mengutip pernyataan Tedi Permadi (Pikiran Rakyat, 3/8/2008) kedua teks itu bercerita tentang konsep pemerintahan Sunda, tatanan ekonomi, tatanan sosial, hukum, politik dan lain-lain.
Selain itu, ajaran tasawuf  juga termuat pada naskah Martabat TujuhSyams Al Maarif yang mengungkapkan ajaran ketauhidan dan ajaran martabat, yang menjelaskan wujud yang ada sebagai pancaran dari yang satu. (Mu’jizah, 2005) Lebih menarik lagi, ajaran ini dikritisi oleh Prawirataruna yang menulis Serat Gatholoc [versi Dahara]. Teks ini mencoba mengkritisi masyarakat Jawa yang latah terhadap ajaran asing (Islam dan Kristen). Dalam serat ini, diungkapkan bahwa hendaknya orang Jawa tidak meninggalkan dan melupakan leluhurnya. (Jacob Soemardjo; 2002)
Petualangan literasi kita tidak sampai di situ, banyak karya para penulis kita yang mencoba memotret perjuangan menuju kemerdekaan seperti pada novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Juga karya Filsafat seperti Madilog dan Aksi Massa karya Tan Malaka. Dilanjutkan dengan karya-karya yang mengkritisi budaya patriarkal seperti pada karya NH Dini, Oka Rusmini, dan Abidah El Khalieqy. Juga dengan karya-karya lain yang mencoba memotret situasi bangsa dari berbagai sisi, dari sisi yang paling gemerlap sampai sisi yang paling suram.
Karya literasi merupakan salah satu alat yang memotret karakter bangsa Indonesia lebih dekat. Dari mayarakat petani, pelaut, pedagang, peladang semua termuat di dalamnya. Ia juga menawarkan refleksi atas kebobrokan yang selama ini diidap bangsa ini. Tentunya ini sumbangan besar atas terbentuknya masyarakat Indonesia yang lebih baik. Kita mempelajari rangkaian jejak-jejak masa lalu leluhur dan mempelajari kesalahan masa lampau serta membuat pembaharuan di masa depan. Ini sebuah kekayaan intelektual yang tak ternilai harganya.
Menakar Budaya Literasi Kita
Penulis tertarik dengan pernyataan Elizabeth Inadiak, seorang penerjemah Prancis yang mengatakan bahwa Serat Centhini memiliki muatan nilai kemanusiaan yang dahsyat, nilai perdamaian, dan spirtual. Nilai-nilai yang sama diungkap juga oleh Victor Hugo. Pernyataan ini membuat saya merasa gelisah. Apa mungkin selama ini kita abai dengan teks-teks yang sebenarnya menyimpan khazanah keilmuan yang begitu elok?
Perasaan yang sama ketika beberapa tahun lalu, penulis membaca karya seorang sarjana Jepang, Mikihiro Moriyama yang bersusah payah untuk tinggal di daerah Jawa Barat hanya demi meneliti sastra Sunda jaman kolonial. Begitu pula dengan Nancy Florida, dan banyak peneliti asing yang asyik masyuk melakukan riset atas teks-teks kuno di Indonesia penulis merasa malu karena mereka lebih tertarik untuk mengenal tradisi Indonesia dibandingkan warganya sendiri.
Ini semua menandakan bahwa negara kita ini memiliki tradisi literasi yang cukup kuat. Meskipun,  kesadaran ini tidak cukup baik dipahami oleh masyarakat, terlebih oleh pihak yang berkewajiban melestariakannya. Penulis merasa miris ketika naskah kuno kita hilang. Kabar terbaru mengatakan naskah-naskah di museum Radya Pustaka hilang. Bahkan menurut sebuah reportase, tahun 2002, 2 truk naskah yang berasal dari Madura diborong Malaysia dan Brunei. Fakta teranyar, tahun 2008, 500 naskah kuno dan benda pusaka dari Cirebon terancam dijual kepada Malaysia. (Pikiran Rakyat, 28/8/2008)
Setelah kekayaan alam seperti minyak bumi dan emas digondol ke luar negeri, apakah kita masih rela naskah-naskah diambil juga?
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa bangsa kita digdaya dalam dunia literasi, namun sedikit saja yang menyadari dan mau berupaya melakukan perbaikan. Mungkin kita perlu meniru aksi penyelamatan naskah kuno yang dilakukan Yayasan Sastra Surakarta terhadap 6.000 naskah kuno yang bertuliskan huruf Jawa (Kompas, 27 Mei 2009). Tidak hanya penyelamatan, tentu kita juga perlu memelihara demi keberlangsungan dunia literasi di Indonesia. Semoga. (sumber Neneng Nurjanah [Penikmat seni dan kebudayaan, bergiat di PSIK Indonesia] psikindonesia.org/menakar-kedigdayaan-budaya-literasi-kita/




Kepala Sedang Memberika Sambutan