![]() ![]() ![]() ![]() |
Creats the excellent personality
Buku-buku menjadi warisan yang
ditinggalkan sang jenius bagi manusia, dari generasi ke generasi sebagai hadiah
untuk yang belum dilahirkan.
Yoseph Addison, The Spectator, No 166
Beberapa hari lalu, penulis kagum ketika
menonton film Angels and Demons. Sama juga takjub ketika menonton
film The Da Vinci Code, Roma karya Federico
Fellinis, Gandhi, Paris Je t’aime, Shinjuku Incident, dan Le
Grand Voyage. Film tersebut tidak hanya menawarkan tehnik
sinematografi yang memukau tapi juga menawarkan ide cerita dan pesan yang
dimampatkan dalam setiap dialog dan adegan.
Rasanya, sedikit film-film Indonesia
yang sebagus itu. Pun ketika berbincang dengan salah seorang aktivis film,
MyCinema, Tobing, membenarkannya. Salah satu permasalahannya ada pada dunia
literasi (baca: keterbacaan) kita yang lemah. Pemahaman dan apresiasi perfilman
mereka ditunjang dengan daya baca yang kuat sehingga film-filmnya berkualitas.
Ketika menelisik tentang dunia literasi,
saya menyadari produk kebudayaan sebuah bangsa memang terukur dari budaya
literasinya. Ini bukan hal yang main-main karena literasi erat kaitannya dengan
pembentukan karakter sebuah bangsa. Produk budaya kita akan berkarakter dan
mencerahkan jika didukung oleh tradisi literasi yang mapan.
Tengoklah negara-negara maju semisal
Prancis getol mengadakan perlehatan literasi seperti acara Lire
en Fète (pesta membaca) dan Le Primtemp de Poetes (musim
semi para penyair) atau sejumlah negara Eropa yang rajin mengampanyekan World
Book Day (hari buku sedunia). Kegiatan itu tentunya tidak sekedar
seremonial belaka, melainkan proses penularan rasa cinta terhadap membaca.
Negara maju pun menaruh perhatian pada dunia literasi. Tidak hanya itu, dari
buku mereka membuat inovasi dengan mengangkatnya ke layar putih yang dikenal
dengan sebutan ekranisasi. Pun mengubahnya dalam bentuk audio yang dikenal
dengan audio book dan sekarang diubah dalam bentuk elektronik
atau e-book.
Dari negara itulah muncul pengarang
kelas dunia yang menelurkan karya megah semisal Les Miressables-nya
Victor Hugo, Candide-nya Voltaire atau Dessert-nya
Jean-Marie Gustave Le Clézio, pemenang nobel sastra 2008. Tentu penulis sekelas
mereka tidak lahir dari kekosongan literasi, melainkan dari khazanah literatur
bermutu. Sehingga dari rahim literasi ini munculah wacana-wacana yang
mengguncang dunia.
Kita memang belum semegah itu. Negara
kita simpang siur antara tontonan dan tulisan. Masyarakat kita lebih terpukau
dengan acara reality show yang mengeksploitasi penderitaan dan
kesusahan orang ketimbang pada buku. Lihatlah keluarga Indonesia, yang tak
seharipun melewatkan nonton TV dari pada membaca. Mengutip Kurniasih, Anggota
Forum Studi Kebudayaan ITB, mengemukakan kondisi ini diperparah gejala umum masyarakat
Indonesia yang melewati tahap praliterasi ke posliterasi. Literasi adalah kunci
yang amat penting dalam kemajuan keilmuan. Tahapan posliterasi—yang ditandai
dengan kemunculan teknologi komunikasi visual seperti internet dan layar
kaca—memotong perkembangan literasi yang seharusnya sudah terpupuk terlebih
dahulu.
Literasi dan Karakter Bangsa
Namun sesungguhnya, kita kaya akan
karya-karya literasi. Tengoklah karya-karya klasik seperti Serat
Centhini, Serat Gatoloco, Wawacan Syeh Abdul Qadir
Jaelani, Wawacan Panji Wulung, Martabat Tujuh, Syams
al Maarif, Buku Kitab Siksa Kandang Karesian, Swaka
Dharma, Kitab-kitab Pengobatan dan sederet karya-karya
klasik lainnya. Begitu pula pada generasi selanjutnya, sejumlah karya-karya
Hamka, Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Tan Malaka, Soekarno, Bung Hatta, Sutan
Takdir Alisyahbana, Achadiat K, Muchtar Lubis, Putu Wijaya dan sejumlah penulis
kontemporer berkontribusi atas tegaknya dunia literasi kita.
Dari karya-karya itu, sebenarnya banyak
hal yang bisa dipelajari. Seperti pada Kitab Siksa Kandang Karesian dan Swaka
Dharma yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Sunda pada jaman
Pajajaran. Mengutip pernyataan Tedi Permadi (Pikiran Rakyat, 3/8/2008)
kedua teks itu bercerita tentang konsep pemerintahan Sunda, tatanan ekonomi,
tatanan sosial, hukum, politik dan lain-lain.
Selain itu, ajaran tasawuf juga
termuat pada naskah Martabat Tujuh, Syams Al Maarif yang
mengungkapkan ajaran ketauhidan dan ajaran martabat, yang menjelaskan wujud
yang ada sebagai pancaran dari yang satu. (Mu’jizah, 2005) Lebih menarik
lagi, ajaran ini dikritisi oleh Prawirataruna yang menulis Serat
Gatholoc [versi Dahara]. Teks ini mencoba mengkritisi masyarakat Jawa
yang latah terhadap ajaran asing (Islam dan Kristen). Dalam serat ini,
diungkapkan bahwa hendaknya orang Jawa tidak meninggalkan dan melupakan
leluhurnya. (Jacob Soemardjo; 2002)
Petualangan literasi kita tidak sampai
di situ, banyak karya para penulis kita yang mencoba memotret perjuangan menuju
kemerdekaan seperti pada novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Juga karya Filsafat
seperti Madilog dan Aksi Massa karya Tan
Malaka. Dilanjutkan dengan karya-karya yang mengkritisi budaya patriarkal
seperti pada karya NH Dini, Oka Rusmini, dan Abidah El Khalieqy. Juga dengan
karya-karya lain yang mencoba memotret situasi bangsa dari berbagai sisi, dari
sisi yang paling gemerlap sampai sisi yang paling suram.
Karya literasi merupakan salah satu alat
yang memotret karakter bangsa Indonesia lebih dekat. Dari mayarakat petani,
pelaut, pedagang, peladang semua termuat di dalamnya. Ia juga menawarkan
refleksi atas kebobrokan yang selama ini diidap bangsa ini. Tentunya ini sumbangan
besar atas terbentuknya masyarakat Indonesia yang lebih baik. Kita mempelajari
rangkaian jejak-jejak masa lalu leluhur dan mempelajari kesalahan masa lampau
serta membuat pembaharuan di masa depan. Ini sebuah kekayaan intelektual yang
tak ternilai harganya.
Menakar Budaya Literasi Kita
Penulis tertarik dengan pernyataan
Elizabeth Inadiak, seorang penerjemah Prancis yang mengatakan bahwa Serat
Centhini memiliki muatan nilai kemanusiaan yang dahsyat, nilai
perdamaian, dan spirtual. Nilai-nilai yang sama diungkap juga oleh Victor Hugo.
Pernyataan ini membuat saya merasa gelisah. Apa mungkin selama ini kita abai
dengan teks-teks yang sebenarnya menyimpan khazanah keilmuan yang begitu elok?
Perasaan yang sama ketika beberapa tahun
lalu, penulis membaca karya seorang sarjana Jepang, Mikihiro Moriyama yang
bersusah payah untuk tinggal di daerah Jawa Barat hanya demi meneliti sastra
Sunda jaman kolonial. Begitu pula dengan Nancy Florida, dan banyak peneliti
asing yang asyik masyuk melakukan riset atas teks-teks kuno di Indonesia
penulis merasa malu karena mereka lebih tertarik untuk mengenal tradisi
Indonesia dibandingkan warganya sendiri.
Ini semua menandakan bahwa negara kita
ini memiliki tradisi literasi yang cukup kuat. Meskipun, kesadaran ini
tidak cukup baik dipahami oleh masyarakat, terlebih oleh pihak yang
berkewajiban melestariakannya. Penulis merasa miris ketika naskah kuno kita
hilang. Kabar terbaru mengatakan naskah-naskah di museum Radya Pustaka hilang.
Bahkan menurut sebuah reportase, tahun 2002, 2 truk naskah yang berasal dari
Madura diborong Malaysia dan Brunei. Fakta teranyar, tahun 2008, 500 naskah
kuno dan benda pusaka dari Cirebon terancam dijual kepada Malaysia. (Pikiran
Rakyat, 28/8/2008)
Setelah kekayaan alam seperti minyak
bumi dan emas digondol ke luar negeri, apakah kita masih rela naskah-naskah
diambil juga?
Dari uraian di atas penulis berpendapat
bahwa bangsa kita digdaya dalam dunia literasi, namun sedikit saja yang
menyadari dan mau berupaya melakukan perbaikan. Mungkin kita perlu meniru aksi
penyelamatan naskah kuno yang dilakukan Yayasan Sastra Surakarta terhadap 6.000
naskah kuno yang bertuliskan huruf Jawa (Kompas, 27 Mei 2009). Tidak
hanya penyelamatan, tentu kita juga perlu memelihara demi keberlangsungan dunia
literasi di Indonesia. Semoga. (sumber Neneng Nurjanah [Penikmat seni dan kebudayaan, bergiat di PSIK
Indonesia] psikindonesia.org/menakar-kedigdayaan-budaya-literasi-kita/
|
![]() |
Kepala Sedang Memberika Sambutan |
Nama : Galih Ahmad Rofei
ReplyDeleteNIM : 1722499450
PROBLEM WITH PASSIVE
perubahan pasif menekankan sebuah kalimat. Biasanya secara pasif, kejadian atau hasil itu lebih pentingbahwa orang yang menyebabkan hal itu terjadi.Untuk contoh nya born, known as, dan left adalah partisipan.Mereka biasa nya di gunakan bersama BE dalam kalimat pasif.Kenapa? Karna seorang lahir, seorang tau, dan seseorang atau sesuatu adalah bagian penting dari kalimat.
PROBLEM 31 PASSIVE-WORD ORDER
Ingat ini adalah kalimat pasif, pelaku itu tidak di ketahui atau tidak penting
Kalimat pasif juga biasa dalam gaya penulisan ilmiah tertentu
Correct : If you brother inviting, he would come
PROBLEM 32 PASSIVE-AGENT
Ingat ini kalimat pasif, si pelaku tidak di kenal atau tidak penting. Subyek adalah bukan pelaku. pelaku dalam kalimat pasif itu di sebut perantara
Correct : the decisions on cases like this are made by dean white
PROBLEM 33 PASSIVE-INFINITIVE
ingat bahwa infinitif pasif dapat digunakan dengan menyajikan dari kata kerja BE untuk menyatakan peninjauan yang akan datang, dan dengan kata lampau dari kata kerja BE untuk mengungkapkan suatu niat yang tidak disadari di masa lalu.
Correct : the play was to be canceled, but it was only postponed