Apakah hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya itu sebuah ”skenario” Tuhan semata
atau merupakan sebuah ”desain sejarah” yang diagendakan dengan pendekatan
manajerial? Dipastikan bahwa hijrah Nabi SAW itu merupakan kehendak Allah SWT
yang dibarengi usaha terencana dan terprogram sedemikian rupa sehingga peta
jalan (road map) hijrah sarat dengan nilai-nilai manajerial yang menarik dan
patut dijadikan sebagai pelajaran kehidupan.
Karena itu, dalam hijrah itu terdapat nilai-nilai strategis dari sebuah
manajemen perubahan: paradigma, pola pikir, dan strategi perjuangan dakwah
Islam. Manajemen perubahan Nabi SAW dimulai dengan menegaskan visi-misi Islam
sebagai rahmatan lil alamin (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Islam
dibumikan untuk menebarkan ajaran kasih sayang, cinta damai, budaya harmoni,
rukun, toleran, dan bahagia lahir dan batin. Dengan visi-misi sebagai rahmat
bagi semesta inilah, peradaban iman, ilmu, dan amal saleh yang bermaslahat dan
berkeadilan dibangun dan dikembangkan.
Karena itu, hijrah Nabi SAW sejatinya merupakan pilihan tepat dan strategis
dalam mempromosikan Islam sebagai agama cinta damai. Nabi dan para sahabatnya
meninggalkan Mekkah tidak dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Meski
dimusuhi dan dibenci, beliau tidak pernah menyimpan rasa dendam dan sakit hati.
Transformasi mental spiritual dan moral meniscayakan pengembangan budaya hidup
damai dan liberalisasi (pembebasan) jiwa dari segala bentuk penyakit hati.
Andai saja Nabi SAW membalas kekerasan dengan kekerasan, kebencian dengan
permusuhan, boleh jadi karakter masyarakat Arab yang saat itu dikenal jahiliah
(keras kepala, biadab, bengis, mudah konflik, dan sebagainya) akan sulit
diubah. Nabi SAW mengelola perubahan budaya kekerasan fisik dan psikologis
dengan kelembutan hati dan keteladanan moral yang luar biasa agung dan elegan.
Dengan keteladanan yang sangat baik dan sempurna (uswah hasanah), perlahan tapi
pasti Nabi SAW mampu menggerakkan sebuah perubahan sosial kemanusiaan yang
mulia. Perubahan itu dimulai dari perubahan akidah politeistik menuju iman
tauhid yang murni. Tauhid (keyakinan teologis kepada keesaan Allah) dengan
kalimatnya: la ila illa Allah inilah yang menjadi energi penggerak
segala bentuk perubahan, sekaligus pemicu dan pemacu segala upaya penyelamatan
manusia dari segala bentuk kemusyrikan.
Melalui hijrah, Nabi SAW menunjukkan kepada kita betapa perubahan dan
keberlanjutan (change and continuity) masa depan Islam itu harus dikelola
dengan manajemen strategis. Sebelum memutuskan hijrah ke Madinah, Nabi SAW
telah membuat perencanaan hijrah memberangkatkan sejumlah sahabat (sekitar 80
orang) untuk hijrah ke negeri Habsyi di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib.
Hijrah yang tidak diikuti langsung oleh Nabi ini antara lain dimaksudkan agar
para sahabat memiliki pengalaman teologis dan sosiologis hidup berdampingan
dengan masyarakat yang mayoritas beragama Nasrani di bawah kepemimpinan Raja
Najasyi yang mengimani al-Kitab (Injil). Secara manajerial, hijrah pertama ini
sejatinya merupakan ”hijrah uji coba” dalam rangka pematangan dan pemantapan
hijrah ke Madinah.
Agar hijrah ke Madinah sukses, Nabi SAW melalukan lobi dan negosiasi tingkat
tinggi dengan pemimpin suku Aus dan Khazraj yang mengunjungi Mekkah di musim
haji sehingga mampu memengaruhi mereka untuk kemudian melakukan janji setia
(baiat) Akaba pertama dan kedua. Setelah baiat pertama, Nabi SAW
menindaklanjutinya dengan mengirim seorang dai dan pendidik muda, Mush’ab
bin Umair, ke Madinah.
Selama kurang lebih setahun di Madinah, dia sukses berdakwah sehingga warga
Madinah yang masuk Islam mencapai lebih dari 80 orang. Dalam perspektif
manajemen, keberadaan dan peran yang dimainkan Mush’ab ini merupakan survei
pendahuluan dan prakondisi untuk perencanaan hijrah yang lebih matang.
Dengan kalimat lain, planning hijrah itu sudah dipersiapkan secara matang oleh
Nabi SAW. Dalam aktualisasinya, Nabi SAW juga melakukan pengorganisasian
(organizing) dan pemimpinan (leading) yang sangat tepat, yaitu dengan
mengarahkan dan mengerahkan para sahabat untuk berhijrah terlebih dahulu secara
bertahap menuju Madinah agar tidak mencolok dan direspons negatif oleh kaum
kafir Quraisy Mekkah.
Bersamaan dengan itu, sebagai greatest leader dan super manager, Nabi
SAW melakukan koordinasi dan konsolidasi sumber daya dan dana yang ada. Sahabat
Abu Bakar as-Shiddiq diberdayakan untuk menjadi pendamping dan pengawal
perjalanan hijrah beliau. Asma’ binti Abu Bakar diberi tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) menyiapkan logistik hijrah.Abdullah bin Abu Bakar dipercaya menjadi
inteligen dan penyuplai informasi kepada Nabi mengenai peta kekuatan dan
pergerakan para pemuka Quraisy. Pembantu Abu Bakar ditugasi mengembala binatang
ternaknya untuk menghilangkan jejak unta dan kaki Nabi dan Abu Bakar.
Kalau saja hijrah Nabi itu tidak berbasis manajemen perubahan, niscaya Nabi dan
Abu Bakar tidak transit selama tiga hari di Gua Tsur yang berlokasi 7 km di
selatan Mekkah, padahal Madinah berada di utara Mekkah. Hal ini tentu saja
dimaksudkan untuk mengecoh lawan sehingga perjalanan hijrah ke Madinah
berlangsung aman dan sukses.
Menarik diketahui bahwa dalam menyukseskan hijrah ini, Nabi SAW melakukan
kemitraan strategis dengan mempercayai Abdullah bin al-Uraiqit al-Laitsi,
seorang Yahudi yang ahli pemandu jalan, untuk mengarahkan proses perjalanan
menuju Madinah. Terbukti, perencanaan matang, koordinasi dan konsolidasi
efektif, kemitraan strategis, dan pengawasan intensif ini mampu menggagalkan
rencana jahat Abu Jahal dkk. Mereka tidak berhasil menangkap hidup-hidup
dan/atau membunuh Nabi SAW.
Manajemen perubahan dalam hijrah membuah hasil nyata bahwa kedatangan Nabi di
selatan Madinah, tepatnya di Desa Quba, mendapat sambutan sangat antusias dari
warga masyarakat. Sedemikian tinggi antusiasme dan apresiasi mereka sehingga
mayoritas warga menyambut beliau dengan iringan musik religius yang sarat
pujian dan harapan kepada Nabi SAW. Thala’a al-badru alaina, wajaba
as-syukru alaina… (Bulan
purnama [Nabi] telah terbit dan menerangi kita; kita harus mensyukuri kehadirannya).
Fakta historis ini membuktikan bahwa hijrah yang sukses itu adalah hijrah yang
direncanakan dengan manajemen perubahan strategis.
Karena itu, dalam pelajaran manajemen ada ungkapan, ”orang yang gagal membuat
perencanaan sesungguhnya sedang merencanakan kegagalan”. Nabi SAW bukan hanya
sukses membuat perencanaan dengan hijrah, tapi juga sukses mengelola dan
mengorientasikan perubahan positif menuju kemajuan yang diharapkan.
Sesampai di Quba, beliau menginisiasi pembangunan masjid pertama, Masjid Quba,
sebagai pusat konsolidasi umat, pendidikan, dan dakwah Islam. Melalui masjid
inilah perubahan sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik digerakkan.
Dengan mentradisikan salat berjamaah, proses spiritualisasi dan komunikasi
profetik yang efektif, Nabi SAW mampu memberdayakan dan mengoptimalkan segenap
potensi sumber daya manusia (para sahabatnya).
Kesuksesan Nabi SAW dalam mengelola perubahan itu disebabkan oleh keteladanan
beliau dalam menginisiasi, memelopori, dan mengawal aktualisasi visi-misi Islam
sebagai agama peradaban. Beliau tidak hanya inisiator perubahan positif, tapi
juga lokomotif dan aktor yang rela berkorban dan berani mengambil risiko dalam
menggerakkan perubahan ke arah peningkatan iman, ilmu, dan amal saleh.
Spirit perubahan itu selalu menyala terang dalam dirinya karena iman tauhidnya
selalu dilandasi keyakinan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS ar-Ra’d: 11). Dengan
manajemen perubahan strategis, hijrah Nabi SAW sukses menghasilkan transformasi
mental spiritual dan moral sekaligus mampu menegakkan konstitusi dan regulasi
sistem sosial politik di Madinah.
Implikasinya, supremasi dan keadilan hukum dapat ditegakkan dengan penuh
kearifan. Perbedaan suku Aus dan Khazraj yang selama ini terlibat konflik
berkepanjangan dapat dimediasi dan dieliminasi. Hidup berdampingan secara damai
dengan komunitas Yahudi dan Nasrani dapat diwujudkan.
Perbedaan keyakinan dan agama disikapi dengan penuh toleransi. Warga minoritas
Madinah dilindungi dan nilai-nilai moral dijunjung tinggi. Dinamika sosial
ekonomi ditumbuhkembangkan demi kesejahteraan semua. Dengan demikian, manajemen
perubahan dari hijrah Nabi sungguh merupakan best practice dalam memandu terwujudnya masyarakat madani
(civil society) yang berperadaban maju, humanis, bermartabat sekaligus
menginspirasi dunia.
Dalam konteks kebangsaan, kita semua merindukan manajemen perubahan yang
positif dan efektif dari tata kelola pemerintahan (good governance) negara ini
sehingga maksiat, korupsi, dan aneka bentuk penyalahgunaan kekuasaan dapat
dihijrahi menuju bangsa yang berperadaban dan berkeadaban. Selamat Tahun Baru
Hijriah 1439 H.